Kamis, 23 Mei 2013

alfiya bait 36-37-38 Definisi & I’rab Isim Mulhaq Jama’ Mudzakkar Salim » Pembahasan kitab

وَشِبْهِ ذَيْنِ وَبِهِ عِشْرُوْنَا ¤ وَبَابُـــهُ أُلْحِــقَ وَالأَهْــــلُوْنَا

….dan yang serupa dengan keduanya ini (“Aamir” dan “Mudznib”, pada bait sebelumnya). Dan lafadz “‘Isyruuna dan babnya”, dimulhaqkan kepadanya (I’rab Jamak Mudzakkar Salim). Juga lafadz “Ahluuna”

أوْلُو وَعَالَمُوْنَ عِلِّيّونَا ¤ وَأَرْضُـــوْنَ شَذَّ وَالْسِّـنُوْنَا

Juga lafadz “Uluu, ‘Aalamuuna, ‘Illiyyuuna dan lafazh Aradhuuna adalah contoh yang syadz (paling jauh dari definisi Jamak Mudzakkar Salim). Juga Lafadz “sinuuna…..

وَبَابُهُ وَمِثْلَ حِيْنٍ قَـدْ يَرِدْ ¤ ذَا الْبَابُ وَهْوَ عِنْدَ قَوْمٍ يَطَّرِدْ

.…dan babnya”. Terkadang Bab ini (bab sinuuna) ditemukan dii’rab semisal lafadz “Hiina” (dii’rab harkat, dengan tetapnya ya’ dan nun) demikian ini ditemukan pada suatu kaum (dari Ahli Nawu atau orang Arab)
Disebutkan pada awal bait diatas kalimat: “dan yang serupa dengan keduanya ini (“Aamir” dan “Mudznib”, pada bait sebelumnya)” yakni, semua Isim Alam dan Isim shifat yang menggenapi syarat sebagai Jama’ Mudzakkar Salim dimana tanda I’rab-nya dengan wau ketika rafa’ dan dengan ya’ ketika nashab dan jar.
Kemudian disebutkan oleh kiyai Mushannif pada Bait kalimat selanjutnya, tentang Isim-isim yang mulhaq/diikutkan kepada I’rab jama’ mudzakkar salim. Adalah Isim yang tidak mencukupi dari syarat ataupun sifat yang wajib dimiliki oleh tiap Isim yang dapat dijadikan jama’ mudzakkar salim.
Dintara Isim-isim Mulhaq Jama’ Mudzakkar Salim tersebut, yang paling masyhur dalam penggunaannya adalah:
  • Kalimah isim yang menunjukkan arti banyak, dan tidak bisa dimufradkan baik secara lafazh atau secara makna: yaitu bab عِشْرُوْنَ (dua puluh) hitungan dari 20, 30, 40 hingga – 90.
contoh Firman Allah:

إِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ عِشْرُونَ صَابِرُونَ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ

Jika ada dua puluh orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang musuh.

وَإِذْ وَاعَدْنَا مُوسَى أَرْبَعِينَ لَيْلَةً

Dan (ingatlah), ketika Kami berjanji kepada Musa (memberikan Taurat, sesudah) empat puluh malam
  • Kalimah isim yang tidak menggenapi sebagian syarat Jama’ Mudzakkar Salim, seperti lafazh أَهْلٌ dijamakkan menjadi أهْلُوْنَ beserta ia bukan Isim Alam pun bukan Isim Sifat. Sebagaimana disebutkan dalam syawahid syi’ir:

وَمَا الْمَالُ وَاْلأَهْلُوْنَ إِلاَّ وَدَائِعٌ … وَلاَ بُدَّ يَوْماً أَنْ تُرَدَّ اْلوَدَائِعُ

Tidaklah harta dan sanak-keluarga melainkan hanyalah titipan, dan pastilah titipan itu suatu hari akan dikembalikan.
Seperti itu juga lafazh عَالَمُوْنَ dari lafazh عَالَمٌ (Alam, sesuatu selain Allah). Dijamakkan seperti Jama’ mudzakkar salim, beserta ia bukan Isim Alam pun bukan Isim Sifat. Contoh firman Allah:

الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ

Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.
  • Kalimah isim yang menunjukkan makna Jamak, namun secara lafazh ia tidak bisa dimufradkan. Semisal lafazh أُوْلُوْ. Contoh Firman Allah Swt.

شَهِدَ اللَّهُ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ وَالْمَلَائِكَةُ وَأُولُو الْعِلْمِ

Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu.
  • Kalimah mufrad yang di-jamak-kan menjadi isim alam, semisal lafazh عِلِّيُّونَ (kitab catatan amal baik, tempat paling tinggi di Surga, tempat di langit ketujuh dibawah ‘Arsy) dari isim mufrad عِلِّيٌّ (tempat tinggi) akan tetapi ini bukan dari jenis yang berakal. Seperti dalam firman Allah:

كَلَّا إِنَّ كِتَابَ الْأَبْرَارِ لَفِي عِلِّيِّينَ

Sekali-kali tidak, sesungguhnya kitab orang-orang yang berbakti itu (tersimpan) dalam ‘Illiyyin.

وَمَا أَدْرَاكَ مَا عِلِّيُّونَ

Tahukah kamu apakah ‘Illiyyin itu?
  • Kalimah yang dijamakkan dengan merubah bentuk asal mufradnya, termasuk dari golongan jama’ taksir, akan tetapi ia di-mulhaq-kan kepada jama’ mudzakkar salim di-I’rab dengan huruf.
contoh: اَرَضُوْنَ, huruf Ra’ berharkah fathah, dan lafazh mufrad-nya disukunkan اَرْضٌ – perubahan bentuk asal mufrad, termasuk dari mufrad muannats, jenis tidak berakal, bukan isim alam, dan bukan isim sifat.
سِنُوْنَ dan babnya, huruf Sin di-kasrahkan pada jamaknya, dan di-fathahkan pada bentuk mufradnya سَنَةٌ – perubahan bentuk asal mufrad, termasuk dari mufrad muannats, jenis tidak berakal, bukan isim alam, dan bukan isim sifat. Contoh:

قَالَ كَمْ لَبِثْتُمْ فِي الْأَرْضِ عَدَدَ سِنِينَ

Allah bertanya: “Berapa tahunkah lamanya kamu tinggal di bumi?”
Adapun maksud daripada bab سِنُوْنَ adalah: setiap isim bangsa tiga huruf (Tsulatsi) yang dibuang Lam Fi’ilnya dan diganti dengan Ta’ muannats marbuthah (ة). Di’irab dengan harakah, bagi orang Arab ia tidak digolongkan pada jamak taksir. Misalnya lafazh; عِضَةٌ “kebohongan” jamaknya lafazh عِضُوْنَ dg meng-kasrah-kan huruf ‘Ain. Proses I’lal: asal mufradnya adalah عِضَوٌ isim bangsa Tsulatsi, dibuang Lam Fi’ilnya yaitu huruf Wau dan diganti dengan Ta’ muannats, maka menjadi عِضَةٌ. Contoh Firman Allah:

الَّذِينَ جَعَلُوا الْقُرْآنَ عِضِينَ

(yaitu) orang-orang (yahudi dan nashrani) yang telah menjadikan Al Quran itu terbagi-bagi (menjadikan kebohongan).
Contoh lain: عِزَةٌ manjadi عِزِيْنَ dan مِائَةٌ menjadi مِئِيْنَ dll.

عَنِ الْيَمِينِ وَعَنِ الشِّمَالِ عِزِينَ

dari kanan dan dari kiri dengan berkelompok-kelompok
Lafazh عِزِيْنَ dinashabkan menjadi Haal. Mulhaq pada jama’ mudzakkar salim.
سِنُوْنَ dan bab-babnya yang dii’rab dengan mengikuti irab jama’ mudzakkar salim ini, termasuk sebagian aksen dari bangsa arab. Diantaranya pula ada yang meng-I’rab سِنُوْنَ dan bab-babnya dengan harakah zhahir pada huruf Nun terakhir yang biasanya ditanwinkan beserta tetapnya huruf Ya’ pada semua I’rabnya, tak ubahnya ia di-i’rab semisal lafazh حِيْنٍ. Contoh:

هَذِهِ سِنِيْنٌ مُجْدِبَةٌ

Ini adalah tahun-tahun yang gersang

وَأَقِمْتُ عِنْدَهُ سِنِيْناً

Aku tinggal bersamanya beberapa tahun.

دَرَسْتُ النَّحْوَ خَمْسَ سِنِيْنٍ

Aku mempelajari Ilmu Nahwu selama lima tahun.
Disebutkan pada salah satu Syawahid Sya’ir dalam bahar Thawil:

دَعَانِيَ مِنْ نَجْدٍ فإِنَّ سِنِينَهُ × لَعِبْنَ بِنَا شِيْباً وَشَيِّبْنَنَا مُرْدَا

Tolong kawan…!
Jangan ungkit lagi tentang Kota Najd
Sesungguhnya tahun-tahun di kota itu…
Telah mempermainkanku ketika aku sudah dalam keadaan ber-uban.
Sesungguhnya tahun-tahun di kota itu…
Telah mengubaniku semenjak aku masih dalam keadaan sangat muda.
Lafazh سِنِيْنَهُ pada Syair diatas, menunjukkan nashab dengan harakah Fathah dan bukan dengan Ya’, karena ia tidak membuang huruf Nun pada keadaan ia menjadi mudhaf.
Ada juga logat dan aksen bahasa arab, tetap meng-I’rab semua bentuk jama’ mudzakkar salim dan mulhaq-mulhaqnya, diberlakukan seperti irab isim mufrad (dii’rab harakah pada nun dengan tetapnya ya’) contoh:

جَاءَ مُعَلِّمِيْنٌ. كَلَّمْتُ مُعَلِّمِيْناً. سَلَّمْتُ عَلَى مُعَلِّمِيْنٍ

Para pengajar telah datang. Aku berbicara pada para pengajar. Aku memberi salam pada para pengajar.
Kesimpulan dari penjelasan bait:
Lafazh عِشْرُوْنَ dan saudara-saudaranya di-mulhaq-kan atau diikutkan kepada jamak mudzakkar salim dalam pengamalan I’rabnya. Seperti itu juga lafazh أهْلُوْنَ – عَالَمُوْنَ – أُوْلُوْ dan عِلِّيُّونَ.
Sedangkan untuk Lafazh اَرَضُوْنَ digaris-bawahi oleh Mushannif sebagai syadz dalam hal ke-mulhaq-annya. Seperti itu juga lafazh سِنُوْنَ dan babnya. Karena kedua lafazh ini adalah isim jenis bukan sifat, bukan isim alam, muannats, tidak berakal, tidak salim lafaz mufradnya, sama sekali tidak memiliki empat syarat untuk jamak mudzakkar salim. Oleh karena itu syadz-nya kedua lafazh tsb lebih kuat.
Disebutkan juga dalam bait: lafazh سِنِيْنَ dan babnya, di-I’rab semisal lafazh حِيْنٍ yakni, menetapkan huruf Ya’ dan Nun pada semua I’rabnya dengan dii’rab harkah zhahir atas Nun yang ditanwin pada nakirahnya.
Disebutkan pula dalam bait bahwa: ditemukan pada orang-orang arab yaitu mengi’rab semua lafazh jamak mudzakkar salim dan mulhaq-mulhaqnya semisal irab pada lafazh سِنِيْنَyang diserupakan dengan irab حِيْنٍ. ***

Alfiyah Bait 35 Bentuk jamak & tanda i’rab Jama’ Mudzakkar Salim: isim jamid, isim sifat, wau rafa’, ya’ nashab/jar »

وَارْفَعْ بِوَاوٍ وَبِيَا اجْرُرْ وَانْصِبِ ¤ سَــــــــالِمَ جَمْعِ عَــــــــامِرٍ وَمُذْنِبِ

Rafa’kanlah dengan Wau!, Jar-kan dan Nashabkanlah dengan Ya’! terhadap Jama’ Mudzakkar Salim dari lafadz “‘Aamir” dan “Mudznib”
Telah disebutkan sebelumnya, dua bagian yang dii’rab dengan huruf pengganti I’rab asal yaitu Asmaus-Sittah dan Isim Mutsanna. Kemudian pada Bait ini Mushannif menyebut bagian ketiga tanda I’rab dengan Huruf untuk Jama’ Mudzakkar Salim berikut mulhaq-mulhaqnya yang akan disebut pada bait-bait selanjutnya. Yaitu tanda I’rab dengan Wau ketika Rafa’ dan dengan Ya’ ketika Nashab atau Jar-nya. Contoh:

أَفْلَحَ الآمِرُوْنَ بِالْمَعْروْفِ

Beruntunglah mereka yang memerintah dengan ma’ruf.

شَجِعْتُ الآمِرِيْنَ بِاْلمَعْرُوْفِ

Aku memberi motifasi kepada pemerintah-pemerintah dengan ma’ruf.

سَلَّمْتُ عَلَى الآمِرِيْنَ بِالْمَعْرُوْفِ

Aku memberi salam untuk mereka yang memerintah kepada yang ma’ruf.
Definisi Jamak Mudzakkar Salim adalah: Isim yang menunjukkan arti lebih dari dua dengan sebab tambahan huruf di akhirnya, dapat di-mufrad-kan dan di-athaf-kan berupa lafazh yang sama. Contoh:

فَرَحَ الْفَائِزُوْنَ

Bergembiralah orang-orang yang sukses.
Maka contoh kalimah isim diatas menunjukkan arti lebih dari dua, sebab huruf zaidah di akhirnya berupa wawu dan nun, dapat dipisah dibentuk mufrad (tunggal) dengan membuang huruf zaidah menjadi فائز berikut di-athaf-kan terdiri dari lafazh yang sama, maka menjadi جاء فائز وفائز آخر.
Maksud perkataan السالم “Salim” adalah selamat atau tidak berubah bentuk mufrad-nya ketika dibuat bentuk Jamak. artinya, tetap langgeng  lafazh mufrad –nya setelah dibuat Jamak, yakni huruf-hurufnya tidak mengalami perubahan,  baik jenisnya,  jumlahnya atau harkah-nya. kecuali karena ada proses I’lal. Misal المصطفى setelah dibuat jamak mudzakkar salim menjadi المصطفاون karena bertemu dua mati yaitu Alif dan Wau jamak, maka Alif dibuang dan menjadi المُصْطَفَوْنَ
Disebutkan pada bait diatas contoh lafazh عامر ومذنب “’Aamir dan Mudznib” menunjukkan bahwa kalimah yang boleh di bentuk jamak dengan Jama’ Mudzakkar Salim ada dua kategori, yaitu Isim Jamid (عامر ) atau Isim Sifat (مذنب) .
Disyaratkan untuk Isim Jamid yang dapat di-bentuk jamak dengan jama’ mudzakkar salim dengan 5 syarat:
1. Harus berupa Isim Alam / kata nama. Contoh: زيد “Zaid”. خالد “Khalid”. Tidak diperkenankan untuk isim jamid yang bukan isim alam contoh: غلام “anak kecil laki”, رجل “pria dewasa” kecuali jika dishighat tashghir/dibentuk mini, maka boleh karena otomatis menjadi Isim Sifat contoh: رجيل “si pria kecil” dapat dibentuk jama’ mudzakkar salim menjadi رجيلون.
2. Harus nama laki-laki, tidak diperkenankan untuk nama perempuan misal: زينب “Zainab” هند “Hindun” سعاد “Su’ad”.
3. Harus nama makhluk ber-akal (yakni dari jenis makhluk yang berakal termasuk bayi dan orang gila). Tidak diperkenankan untuk semisal nama hewan لاحق “Lahiq” nama kuda.
4. Harus kosong dari Ta’ Muannats Zaidah. Tidak diperkenankan untuk contoh: حمزة “Hamzah” طلحة “Thalhah”.
5. Bukan dari Isim Alam hasil Tarkib (berasal dari susunan kata) contoh سيبويه “Sibawaihi”.
Contoh Jama’ Mudzakkar Salim dari Isim Alam yang mencukupi Syarat :

جَاءَ زَيْدُوْنَ. هَنَأتُ زَيْدِيْنَ. مَرَرْتُ بِزَيْدِيْنَ

Zaid-Zaid telah datang. Aku membantu Zaid-Zaid. Aku berjumpa dengan Zaid-Zaid.
Disyaratkan untuk Isim Sifat yang dapat di-bentuk jamak dengan jama’ mudzakkar salim dengan 6 syarat:
1. Harus sifat bagi laki-laki, tidak diperkenankan seperti contoh: حائض “yang Haid” مرضع “yang menyusui”
2. Harus sifat bagi yang berakal, tidak diperkenankan untuk contoh: صاهل “yg meringkik” (sifat kuda)
3. Harus kosong dari ta’ muannats, maka tidak diperkenankan seperti contoh علامة “tanda” قائمة “sangga” صائمة “tenang”.
4. Bukan Isim sifat dengan wazan أفعل yang muannts-nya adalah فعلاء contoh: أحمر “yang merah” أخضر “yang hijau”.
5. Bukan Isim sifat dengan wazan فعلان yang muannts-nya adalah فعلى contoh: سكران “yang mabok”.
6. Bukan dari Isim Sifat yang sama bisa ditujukan untuk laki-laki dan atau perempuan contoh: صبور “yang sabar” جريح “yang terluka”
Contoh Jama’ Mudzakkar Salim dari Isim Sifat yang mencukupi Syarat :

فَرِحَ الْمُخَلَّفُونَ بِمَقْعَدِهِمْ خِلَافَ رَسُولِ اللَّهِ وَكَرِهُوا أَنْ يُجَاهِدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ

Orang-orang yang ditinggalkan (tidak ikut perang) itu merasa gembira dengan tinggalnya mereka di belakang Rasulullah, dan mereka tidak suka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah.

وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ

Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.

وَكَانَ بِالْمُؤْمِنِينَ رَحِيمًا

Dan adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman.
Kesimpulan penjelasan bait: Rofa’kanlah dengan wau sebagai ganti dari dhammah, Jar-kanlah dengan Ya’ sebagai ganti dari kasrah, dan Nashab-kan juga dengan Ya’ sebagai ganti dari Fathah. Terhadap Jama’ Mudzakkar Salim dari lafazh ‘Aamir (isim Alam) dan Lafazh Mudznib (isim Sifat).

Alfiyah Bait 32-33-34 Pengertian Tanda I’rob Isim Mutsanna/Tatsniyah dan Mulhaq-nya »

بِالأَلِفِ ارْفَع الْمُثَنَّى وَكِلاَ ¤ إذَا بِمُـــضْمَرٍ مُضَــافَاً وُصِلاَ

Rofa’-kanlah! dengan tanda Alif terhadap Isim Mutsanna, juga lafadz Kilaa apabila tersambung langsung dengan Dhamir, dengan menjadi Mudhaf.

كِلْتَا كَذَاكَ اثْنَانِ وَاثْنَتَانِ ¤ كَابْنَــيْنِ وَابْنَتَيْــنِ يَجْــرِيَانِ

Juga (Rofa’ dg tanda Alif) lafadz Kiltaa, begitupun juga lafadz Itsnaani dan Itsnataani sama (I’rob-nya) dengan lafadz Ibnaini dan Ibnataini keduanya contoh yang di jar-kan.

وَتَخْلُفُ الْيَا فِي جَمِيْعِهَا الأَلِفْ ¤ جَــــرًّا وَنَصْـــبَاً بَعْدَ فَتْـــحٍ قَدْ أُلِفْ

Ya’ menggantikan Alif (tanda Rofa’) pada semua lafadz tsb (Mutsanna dan Mulhaq-mulhaqnya) ketika Jar dan Nashab-nya, terletak setelah harakah Fathah yang tetap dipertahankan.
Kitab Hasyiyah Al-Khudhari penjelasan Syarah Ibnu 'Aqil
Telah disebutkan sebelumnya tanda I’rab dengan huruf sebagai pengganti dari I’rab Harakah yaitu pada Asmaus-Sittah. Selanjutnya pada Bait ini, Kiyai Mushannif Ibnu Malik menerangkan tentang I’rab pengganti asal bagian kedua, yaitu untuk tanda I’rob Isim Mutsanna (Kata benda dual) dan Muhaqnya (Isim yang diserupakan Isim Tatsniyah/Mutsanna).
Definisi Isim Tatsniyah/Mutsanna dalam ilmu nahwu dan Sharaf adalah: Satu lafazh kalimah yg menunjukkan dua buah objek, dikarenakan ada penambahan huruf zaidah di akhirnya, dapat dibentuk mufrad/tunggal beserta dapat dipisah dan diathafkan terdiri dari dua lafazh yang sama. Contoh Isim Tatsniyah:

زَيْدَانِ, ضَرْبَانِ, مُسْلِمَانِ

Dua Zaid, dua pukulan, dua orang Muslim.
4 macam kategori lafazh kalimah tidak bisa dikatakan Isim Tatsniyah/Mutsanna:
1. Lafazh menunjukkan dua objek, tapi bukan sebab huruf tambahan. Contoh:

شَفْعٌ

Sepasang
2. Lafazh ada tambahan huruf zaidah semisal Isim Tatsniyah, tapi tidak menunjukkan dua objek. Contoh:
  • Menunjukkan Mufrad/tunggal dari isim sifat:

رَجْلاَنُ، رَحْمَانُ، شَبْعَانُ، جَوْعَانُ، سَكْرانُ، نَدْمَانُ

Pejalan kaki, pengasih, yang kenyang, yang lapar, yang mabuk, tukang minum.
  • Menunjukkan Mufrad/tunggal dari isim alam / nama:

عُثْمَانُ، عَفَّانُ، حَسَانُ

Utsman, ‘Affan, Hasan
  • Menunjukkan Jamak dari jama’ taksir:

صِنْوَانٌ, غِلْمَانٌ, صِرْدَانٌ, رُغْفَانٌ, جُرْذَانٌ

Saudara-saudara sekandung, anak-anak muda, kumpulan burung-burung sejenis, adonan-adonan roti/keju, kumpulan tikus-tikus.
Masing-masing ketiga jenis contoh-contoh kalimah diatas di-I’rab dengan Harkah Zhahir pada Nun shighah bukan Nun maqom tanwin, sedangkan Alifnya adalah Lazim pada semua I’rabnya.
3. Lafazh menunjukkan dua buah tapi tidak dapat dimufrodkan/tunggal. Contoh:

اثْنَانِ

Dua
Tidak bisa dimufrodkan atau tidak bisa membuang huruf zaidah atau tidak bisa dilafalkan اثْنٌ.
4. Lafazh menunjukkan dua buah objek, ada tambahan huruf zaidah, bisa dimufrodkan/tunggal, bisa dipisah berikut diathafkan tapi bukan terdiri dari dua lafazh yang sama. Contoh sebagaimana orang arab mengatakan:

القَمَرَيْنِ

Dua planet yg menyinari bumi
Karena setelah dipisah dan di-athafkan menjadi الشَّمْسُ وَالْقَمَرُ

اَبَوَيْنِ

Dua orang tua.
Karena setelah dipisah dan di-athafkan menjadi الأَبُ والأُمُّ
Tanda I’rob Isim Mutsanna/Tatsniyah
Tanda I’rob untuk Isim Mutsanna adalah Rofa’ dengan huruf Alif sebagai ganti dari I’rob asal harakah Dhammah, Nashab dengan Huruf Ya’ sebagai ganti dari Fathah juga Jar dengan huruf Ya’ sebagai ganti dari Kasroh. Contoh:

قَالَ رَجُلاَنِ مِنَ الَّذِينَ يَخَافُونَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمَا

Berkatalah dua orang diantara orang-orang yang takut (kepada Allah) yang Allah telah memberi nikmat atas keduanya.

فَوَجَدَ فِيهَا رَجُلَيْنِ يَقْتَتِلاَنِ هَذَا مِنْ شِيعَتِهِ وَهَذَا مِنْ عَدُوِّهِ

didapatinya di dalam kota itu dua orang laki-laki yang berkelahi; yang seorang dari golongannya (Bani Israil) dan seorang (lagi) dari musuhnya (kaum Fir’aun).

قَدْ كَانَ لَكُمْ آيَةٌ فِي فِئَتَيْنِ الْتَقَتَا

Sesungguhnya telah ada tanda bagi kamu pada dua golongan yang telah bertemu (bertempur).
Demikianlah I’rob Isim Tatsniyah menurut sebagian besar logat orang Arab. Dan sebagian lain (logat bani Kinanah, Bani Harits bin Ka’ab, bani ‘Ambar, bani Bakar bin Wa’il, bani Zubaid, bani Kats’am, bani Hamdan, bani ‘Udzrah) mengamalkan Isim Mutsanna dan Mulhaqnya dengan tanda Alif secara muthlaq; baik rofa’, nashab dan jarnya. contoh:

جَاءَ الزَّيْدَانِ كِلاَهُمَا- رَأَيْتُ الزَّيْدَانِ كِلاَهُمَا- مَرَرْتُ بِالزَّيْدَانِ كِلاَهُمَا

Dua Zaid telah datang kedua-duanya – Aku melihat dua Zaid kedua-duanya – Aku bertemu dengan dua Zaid kedua-duanya.
Demikian juga sebagian Qiraah membaca Inna ditasydid pada Ayat:

قَالُوا إِنْ هَذَانِ لَسَاحِرَانِ

Mereka berkata: “Sesungguhnya dua orang ini adalah benar-benar ahli sihir…”
Nabi bersabda:

لاَ وِترَانِ فِي لَيْلَةٍ

Tidaklah dua Witir dalam satu malam.
Tanda I’rob Muhaq kepada Isim Mutsanna/Tatsniyah
Termasuk juga untuk I’rob Isim yang diserupakan atau di-mulhaq-kan dengan Isim Mutsanna atau dikenal dengan sebutan Mulhaq Mutsanna, yaitu setiap isim/kata benda yang kurang mencukupi syarat definisi Isim Mutsanna. Di antara isim-isim mulhaq tsb. Sebagaimana disebutkan dalam bait adalah:
Kilaa dan kiltaa (كِلاَ وكِلْتَا), dengan prosedur sbb:
1. Diberlakukan seperti I’rab Isim Mutsanna, apabila Mudhaf pada Isim Dhamir. Contoh:

جَاءَنِيْ كِلاَهُمَا وَرَأَيْتُ كِلَيْهِمَا وََمَرَرْتُ بِكِلَيْهِمَا

Keduanya (male) mendatangiku, Aku melihat keduanya, Aku bertemu dengan keduanya

وَجَاءَتْنِيْ كِلْتَاهُمَا وَرَأَيْتُ كِلْتَيْهِِمَا وَمَرَرْتُ بِكِلْتَيْهِمَا

Keduanya (female) mendatangiku, Aku melihat keduanya, Aku bertemu dengan keduanya

العِلْمُ وَالعَمَلُ كِلاَهُمَا مَطْلُوْبٌ

Ilmu dan Amal, kedua-duanya dituntut.

إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلاَهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ

Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah”
2. Diberlakukan seperti I’rab Isim Maqshur (tetap menggunakan Alif, pada Rafa’/Nashab/Jar). Apabila Mudhaf pada Isim Zhahir. Contoh:

جَائَنِيْ كِلاَ الرَّجُلَيْنِ وَكِلْتَا الْمَرْأَتَيْنِ وَرَأَيْتُ كِلاَ الرَّجُلَيْنِ وَكِلْتَا الْمَرْأَتَيْنِ وَمَرَرْتُ بِكِلاَ الرَّجُلَيْنِ وَكِلْتَا الْمَرْأَتَيْنِ

Datang kepadaku kedua pria dan kedua wanita itu. Aku melihat kedua pria dan kedua wanita itu. Aku berjumpa dengan kedua pria dan kedua wanita itu.

كِلْتَا الْجَنَّتَيْنِ آتَتْ أُكُلَهَا

Kedua buah kebun itu menghasilkan buahnya
Itsnaani dan Itsnataaani (اثْنَانِ واثْنَتَانِ), dengan prosedur sbb:
Diberlakukan Hukum I’rab seperti Isim Mutsanna tanpa syarat, sebagaimana contoh Isim Mutsanna/Tatsniyah lafazh Ibnaani dan Ibnataani (ابْنَانِ وابْنَتَانِ). Contoh:

حَضَرَ مِنَ الضُّيُوْفِ اثْنَانِ

Telah hadir dua orang dari tamu-tamu itu.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا شَهَادَةُ بَيْنِكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ حِينَ الْوَصِيَّةِ اثْنَانِ ذَوَا عَدْلٍ مِنْكُمْ

Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kamu menghadapi kematian, sedang dia akan berwasiat, maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kamu…
Kesimpulan penjelasan Bait: Isim Mutsanna/Tatsniyah di rofa’-kan dengan Alif, demikian juga Kilaa dan Kiltaa dengan syarat mudhaf dan mudhaf ilaih-nya harus isim dhamir. Sedangkan itsnaani dan itsnataani diberlakukan seperi Isim Mutsanna sebagaimana Ibnaani dan ibnataani. Adapun ketika dalam keadaan Nashab atau Jar, maka tanda irob-nya adalah Ya’ menempati tempatnya Alif ketika Rofa’. Semua tanda irab Isim Mutsanna dan mulhaq-nya jatuh sesudah harakah Fathah, karena fathah ini biasa berlaku untuk alif Tatsniyah. Maka tetap dipertahankan ketika bersama dengan Ya’.

Alfiah Bait 31 4 Syarat I’rob Asma al-Sittah: Mudhaf, tidak Mudhaf pd Ya’ Mutakallim, Mukabbar dan Mufrad »

وَشَرْطُ ذَا اْلإعْرَابِ أَنْ يُضَفْنَ لاَ ¤ لِلْيَــا كَــجَا أَخُــوْ أَبِيْـــكَ ذَا اعْـــتِلاَ

Syarat I’rob ini (I’rob Asmaus-Sittah) yaitu harus di mudhaf-kan, tidak mudhof kepada Ya’ Mutakallim. Seperti contoh: “Jaa akhuu abiika dza’tilaa”.
Para Ahli Nahwu menentukan empat syarat untuk Asmaus-Sittah yang dii’rab dengan Huruf. yaitu:


Syarah Alfiyah, Al-Asymuni



1. Harus mudhaf, dipilihnya syarat ini untuk menjaga daripada yang tidak mudhof, karena yang demikian akan di-i’rob dengan harokah zhohir. Contoh:

هَذَا أَبٌ وَرَأَيْتُ أَبًا وَمَرَرْتُ بِأَبٍ

Ini seorang bapak, aku melihat seorang bapak, aku berjumpa dengan seorang bapak.

إِنَّ لَهُ أَبًا شَيْخًا كَبِيرًا

sesungguhnya ia mempunyai ayah yang sudah lanjut usianya

وَلَهُ أَخٌ أَوْ أُخْتٌ

baginya seorang saudara laki-laki atau seorang saudara perempuan

قَالَ ائْتُونِي بِأَخٍ لَكُمْ مِنْ أَبِيكُمْ

ia berkata: “Bawalah kepadaku saudaramu yang seayah dengan kamu (Bunyamin)..
2. Tidak Mudhaf pada Ya’ Mutakallim. Contoh:

هَذَا أَبُوْ زَيْدٍ وَأَخُوْهُ وَحَمُوْهُ

Ini ayah Zaid/saudaranya/mertuanya.
Sedangkan apabila mudhaf kepada ya’ mutakallim, maka dii’rab dengan harakah muqaddar/dikira-kira pada huruf terakhir sebelum ya’ mutakallim. Contoh:

هَذَا أَبِيْ وَرَأَيْتُ أَبِيْ وَمَرَرْتُ بِأَبِيْ

Ini adalah bapakku, aku melihat bapakku, aku berpapasan dengan bapakku.

وَأَخِي هَارُونُ هُوَ أَفْصَحُ مِنِّي لِسَانًا

Dan saudaraku Harun dia lebih fasih lidahnya daripadaku

إِنَّ هَذَا أَخِي لَهُ تِسْعٌ وَتِسْعُونَ نَعْجَةً وَلِيَ نَعْجَةٌ وَاحِدَةٌ

sungguhnya saudaraku ini mempunyai sembilan puluh sembilan ekor kambing betina dan aku mempunyai seekor saja.

فَأَلْقُوهُ عَلَى وَجْهِ أَبِي يَأْتِ بَصِيرًا

lalu letakkanlah dia kewajah ayahku, nanti ia akan melihat kembali
3. Harus bershighat mukabbar (مكبر), dipilihnya syarat ini untuk menjaga dari shigat mushaghghar (مصغر)/memperkecil, karena yang dimikian ini dii’rab dengan harkah zhahir. Contoh:

هَذَا أُبَيُّ زَيْدٍ وَذُوَيُّ مَالٍ

Ini adalah bapak-kecilnya Zaid dan si hartawan yunior

وَرَأَيْتُ أُبَيَّ زَيْدٍ وَذُوَيَّ مَالٍ

Aku melihat bapak-kecilnya Zaid dan si hartawan yunior

ومررت بِأُبَيِّ زَيْدٍ وَذُوَيِّ مَالٍ

Aku berpapasan dengan bapak-kecilnya Zaid dan si hartawan yunior
4. Harus Mufrad (tunggal), dipilihnya syarat ini, untuk menjaga dari bentuk Jamak, karena yang demikian ini dii’rab dengan harkah zhahir. Contoh:

هَذَا آبَاءُهُمْ وَرَأَيْتُ آبَاءَهُمْ وَمَرَرْتُ بِآبَائِهِمْ

Ini adalah bapak-bapak mereka, aku melihat bapak-bapak mereka, aku berpapasan dengan bapak-bapak mereka.

آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ لَا تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا

(Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu.
Atau untuk menjaga dari bentuk dual, karena yang demikian ini dii’rab dengan tanda Alif ketika rofa’/Ya’ ketika Jar dan Nashab. Contoh:

هَذَانِ أَبَوَا زَيْدٍ وَرَأَيْتُ أَبَوَيْهِ وَمَرَرْتُ بِأَبَوَيْهِ

Ini adalah kedua orang tua  zaid, aku melihat kedua orang tua zaid, aku berpapasan dengan kedua orang tua zaid.

وَرَفَعَ أَبَوَيْهِ عَلَى الْعَرْشِ

Dan ia menaikkan kedua ibu-bapanya ke atas singgasana
Tidak disebutnya empat syarat diatas oleh Mushannif Alfiyah, kecuali dua syarat pertama, sedangkan dua syarat sisanya sudah tersirat dalam contoh pada bait diatas, yaitu dengan contoh Mukabbar dan Mufrad

كَجَا أخُو أبِيكَ ذَا اعْتِلاَ

Telah datang saudara ayahmu yang berpangkat tinggi itu.
Dan perlu diketahui bahwa penggunaan Lafadz Dzu ذو Asmaus-sittah selamanya harus mudhaf karena ia tidak pernah digunakan kecuali mudhaf, dan mudhafnya tertentu kepada Isim Jenis yang zhahir, bukan Dhamir atau Shifat. Contoh:

جَاءَ نِيْ ذُوْ مَالٍ

Si hartawan datang padaku
Tidak boleh melafalkan:

جَاءَنِيْ ذُوْ قَائِمٍ

Alfiyah Bait 29-30 Aksen Bahasa Arab Untuk Lafazh اب، أخ، حم dan هن menghasilkan I’rob Itmam, Naqsh dan Qashr » Alfiyah Bait 29-30

أَبٌ آخٌ حَـــمٌ كَـــذَاكَ وَهَـــنُ ¤ وَالْنَّقْصُ فِي هذَا الأَخِيْرِ أَحْسَنُ

Juga Abun, Akhun, Hamun, demikian juga Hanu. Tapi dii’rab Naqsh untuk yang terakhir ini (Hanu) adalah lebih baik.

وَفِي أَبٍ وَتَـالِيَيْهِ يَنْـــدُرُ ¤ وَقَصْرُهَا مِنْ نَقْصِهِنَّ أَشْهَرُ

Dan untuk Abun berikut yang mengiringinya (Akhun dan Hamun) jarang diri’rab Naqsh, sedangkan dii’rab Qoshr malah lebih masyhur daripada I’rab Naqshnya.
Abun, Akhun, Hamun dan Hanu (اب، أخ، حم dan هن), termasuk golongan Asma al-Sittah yang berlaku tanda I’rob: Rofa’ denga Wawu, Nashob dengan Fathah dan Khofadh/Jarr dengan Ya’, sebagaimana I’rob Dzu dan Famun yang telah disebutkan pada Bait sebelumnya.
Syarah Alfiyah, Dalilus Salik
I’RAB ITMAM, QASHR ATAU NAQSH UNTUK (اب، أخ، حم)
Menurut lughoh/logat/aksen yang masyhur dikalangan orang Arab, menjadikan tanda I’rab Asmaus-sittah untuk lafazh (اب، أخ، حم) terkenal dengan di-i’rab Itmam (Sempurna, menyertakan huruf illah (و-ا-ي) sebagai tanda I’rabnya).
Contoh:

هَذَا أَبُوْهُ وَأَخُوْهُ وَحَمُوْهَا

Ini Ayahnya/Saudaranya/mertuanya

رَأَيْتُ أَبَاهُ وَأَخَاهُ وَحَمَاهَا

Aku melihat Ayahnya/Saudaranya/mertuanya

مَرَرْتُ بِأَبِيْهِ وَأَخِيْهِ وَحَمِيْهَا

Aku berpapasan dengan Ayahnya/Saudaranya/mertuanya.
Selanjutnya Ibnu Malik mensyairkan dalam Bait Syairnya “Dan untuk Abun berikut yang mengiringinya (Akhun dan Hamun) jarang diri’rab Naqsh, sedangkan dii’rab Qoshr malah lebih masyhur daripada I’rab Naqshnya.” Menunjukkan ada dua aksen lagi untuk ketiga Kalimah dari Asmaus-Sittah tsb (اب، أخ، حم).
Pertama: Naqsh (cacat/kurang) yaitu dengan membuang wawu, alif dan ya’ atau dengan di-irab harakah zhahir.
Contoh:

هَذَا أَبُهُ وَأَخُهُ وَحَمُهَا

Ini Ayahnya/Saudaranya/mertuanya

رَأَيْتُ أَبَهُ وَأَخَهُ وَحَمَهَا

Aku melihat Ayahnya/Saudaranya/mertuanya

مَرَرْتُ بِأَبِهِ وَأَخِهِ وَحَمِهَا

Aku berpapasan dengan Ayahnya/Saudaranya/mertuanya.
Sebagaimana Syair Arab oleh Ru’bah bin Ajjaj dalam bahar rojaz musaddas:

بِأَبِهِ اقْتَدَى عَدِىٌّ في الْكَرَمْ ¤ وَمَنْ يُشَابِهْ أَبَهُ فَمَا ظَـلَمْ

Shahabah Adi (Shahabah Nabi, Adi bin Hatim ra.) mengikuti jejak ayahnya dalam hal kemuliaan. Maka siapa saja yg mengikuti jejak ayahnya, ia tidak zhalim.
Aksen/logat seperti pada contoh syair diatas jarang ditemukan untuk lafazh (اب، أخ، حم) artinya jarang di-I’rab Naqsh.
Kedua: Qashr (ringkas) yaitu tetap dengan tanda Alif baik pada Rofa’, Nashab dan Jarnya.
Atau semua I’rabnya dikira-kira atas Alif dan disebut I’rab Qashr. Sebagaimana I’rab untuk isim-isim Maqshur. Aksen seperti ini, dikalangan orang Arab (tepatnya oleh Bani Harits, Bani Khats’am dan Bani Zubaid) lebih masyhur dipakai daripada I’rab Naqsh.
Contoh:

هَذَا أَبَاهُ وَأَخَاهُ وَحَمَاهَا

Ini Ayahnya/Saudaranya/mertuanya

رَأَيْتُ أَبَاهُ وَأَخَاهُ وَحَمَاهَا

Aku melihat Ayahnya/Saudaranya/mertuanya

مَرَرْتُ بِأَبَاهُ وَأَخَاهُ وَحَمَاهَا

Aku berpapasan dengan Ayahnya/Saudaranya/mertuanya.
Sebagaiman disebutkan dalam Syair Arab yang juga berbahar rojaz :

إِنَّ أَبَـاهَــا وَأَبَـا أَبَـاهَــا ¤ قَدْ بَلَغَا فِي المَجْدِ غَايَتَاهَا

Sesungguhnya Bapaknya dan bapak bapaknya (leluhurnya), benar-benar telah sampai pada batas kemuliaannya.
I’RAB NAQSH ATAU ITMAM UNTUK (هن )
Sedangkan untuk lafazh Hanu (هن), maka yang fasih adalah dengan tanda I’rab harakah secara zhahir. Sebagaimana dalam Bait disebutkan “Tapi dii’rab Naqsh untuk yang terakhir ini (Hanu) adalah lebih baik” maksudnya untuk lafazh Hanu lebih baik di-I’rab Naqsh (Cacat/kurang, tanpa menyertakan huruf illah (و-ا-ي) sebagai tanda I’rabnya) Contoh:

هَذَا هَنُ زَيْدٍ وَرَأَيْتُ هَنَ زَيْدٍ وَمَرَرْتُ بِهَنِ زَيْدٍ

Ini anunya Zaid, aku melihat anunya Zaid, aku lewat berpapasan dengan anunya Zaid.
هن (hanu) sebutan/kinayah untuk suatu yg jelek menyebutnya, ada mengartikan kemaluan, ada juga mengartikan sosok manusia dsb, tergantung konteks kalimat. Contoh Lafadz Hanu yg terdapat dalam Hadits, Rosulullah saw. Bersabda:

مَنْ تَعَزَّى بِعَزَاءِ الْجَاهِليَّةِ فَأَعِضُّوهُ بِهَنِ أَبِيْهِ وَلاَ تَكْنُوْا

Barang siapa bangga menisbatkan/menjuluki dirinya dengan penisbatan Jahiliyah, maka gigitkanlah ia pada anunya bapaknya (istilah Indonesia: kembalikan ke rahim ibunya). Dan janganlah kalian memanggil dengan julukan itu!.
Contoh di-I’rob Itmam yang jarang dipakai untuk lafazh Hanu:

هَذَا هَنُوْهُ وَرَأَيْتُ هَنَاهُ وَنَظَرْتُ إلَى هَنِيْهِ

Ini Anunya. Aku melihat Anunya. Aku memandang pada Anunya.
Pendapat Imam Abu Zakariya Al-Farra’ beliau mengingkari terhadap kebolehan I’rab Itmam untuk lafazh “Hanu”, namun ini ditangkis oleh hujah Imam Sibawaehi dengan hikayah orang-orang Arab yang meng-itmamkan lafazh “Hanu” tsb. Demikian juga hujah para Ulama nahwu lain yang memelihara terhadap aksen Bahasa Arab tentang Hanu dengan di-Itmam.
Kesimpulan pembahasan: bahwa lafazh (اب، أخ، حم) terdapat tiga aksen/logat. Yang paling masyhur adalah di-I’rab Itmam, kemudian di-I’rab Qashr, dan terakhir paling jarang digunakan dii’rab Naqsh. Dan untuk lafazh (هن) terdapat dua aksen/logat, paling masyhur dengan I’rab Naqsh dan paling jarang dii’rab Itmam.

Alfiyah Bait 28 Syarat Dzu (ذو) & Famun (فم) yang tergolong pada Asmaus-Sittah »

مِنْ ذَاكَ ذُو إِنْ صُحْبَةً أَبَانَا ¤ وَالْفَــــــمُ حَيْثُ الْمِيْمُ مِنْهُ بَانَا

Diantara Isim-Isim itu (Asmaus Sittah) adalah Dzu jika difahami bermakna Shahib (yg memiliki), dan Famu sekiranya Huruf mim dihilangkan darinya.
Syarah Alfiyah, Audhahul Masalik - Ibnu Hisyam
Termasuk pada Asmaus-Sittah atau Isim-isim yang tanda rafa’nya dengan wawu (و), tanda nashabnya dengan alif (ا) dan tanda jar-nya dengan ya’ (ي),  yaitu Dzu (ذو) dan Famun (فم).
Persyaratan lafazh Dzu (ذو) yang tergolong pada Asmaus-Sittah adalah Dzu (ذو) yg difahami makna Shahib/الصاحب (Si empunya/pemilik). Contoh:

جَائَنِيْ ذُوْ مَالٍ

Si Hartawan datang kepadaku.

وَاللهُ ذُو فَضْلٍ عَظِيمٍ

Dan Allah mempunyai karunia yang besar
Itulah maksud dalam Bait Syair diatas “adalah Dzu jika difahami bermakna Shahib” untuk membedakan dengan Dzu (ذو) Isim Maushul (sering digunakan oleh kaum Thayyi’) karena Dzu (ذو) Isim Maushul ini, tidak mempunyai makna si pemilik, tapi ia memiliki makna seperti الذي . hukum Dzu Isim Maushul ini Mabni. Artinya tetap dalam satu bentuk ذو baik keadaan rafa’, nashab dan jar-nya. Contoh:

جَاءَنِيْ ذُوْ قَامَ , رَأيْتُ ذُو قَامَ , مَرَرْتُ بِذُو قَامَ

Dia yang berdiri mendatangiku, Aku melihat dia yang berdiri, Aku bertemu dengan dia yang berdiri.
Sebagaimana contoh dalam syair arab

فَإِمَّـا كِرَامٌ مُوسِرُونَ لَقِيتُـهُمْ ¤ فَحَسْبِيَ مِنْ ذُو عِنْدَهُمْ مَا كَفَانِيَا

Adapun mereka yang mulia lagi mudah hidupnya (kaya), bilamana aku menemuinya, maka cukuplah bagiku kemurahan yang ada padanya itu dalam melayaniku (sebagai tamu) .
Demikian juga disyaratkan pada lafazh Famun (فم) dalam I’rob Asmaus-Sittah yaitu Huruf mim harus dihilangkan daripadanya. Contoh:

هَذَا فُوْهُ, رَأيْتُ فَاهُ, نَظَرْتُ إلىَ فِيْهِ

Ini mulutnya, aku lihat mulutnya, aku memandang kepada mulutnya.
Apabilah Huruf Mimnya tidak dihilangkan daripadanya maka di-I’rob dengan Harkah. Contoh:

هَذَا فَمٌ, رَأيْتُ فَمًا, نَظَرْتُ إلىَ فَمٍ

Ini mulut, aku lihat mulut, aku memandang kepada mulut.

Alfiyah Bait 27 Tanda I’rab Pengganti: Rafa’ dg Wau, Nashab dg Alif, Jar dg Ya’. Berlaku pada Asmaus-Sittah

وَارْفَعْ بِــوَاوٍ وَانْصِبَنَّ بِالأَلِفْ ¤ وَاجْرُرْ بِيَاءٍ مَا مِنَ الأَسْمَا أَصِفْ

Rofa’kanlah dengan Wau, Nashabkanlah dengan Alif, dan Jarrkanlah dengan Ya’, untuk Isim-Isim yang akan aku sifati sebagai berikut (Asmaus Sittah):…
Bait Alfiyah ke 27 ini, menerangkan tentang I’rab Pengganti bagian pertama, sebagai pengganti dari Irab asal. Yaitu kalimah yang dii’rab dengan Huruf (wau-alif-ya’) pengganti dari i’rab harkah (dhammah-fathah-kasrah) demikianlah yang masyhur di kalangan Ahli Nahwu. Namun yang benar menurut mereka adalah bahwa status kalimah tsb, tetap dii’rob dengan Harkah secara taqdiran/dikira-kira artinya: Rofa’ dengan Dhommah yang dikira-kirakan atas Wau, Nashab dengan Fathah yang dikira-kirakan atas Alif dan Jar dengan Kasrah yang dikira-kirakan atas Ya’. Merupakan I’rab yang berlaku pada Asmaaus-Sittah/الأسماء الستة (Kalimah Isim/kata benda yang enam) yaitu: أبٌ، أخٌ، حمٌ، فمٌ، هنٌ، ذُو .
Maka kalimah-kalimah ini dirafa’kan dengan Wau sebagai pengganti dari Dhammah. Contoh:

وَأَبُونَا شَيْخٌ كَبِيرٌ

sedang bapak kami adalah orang tua yang telah lanjut umurnya.
Dinashabkan dengan Alif pengganti dari Fathah. Contoh:

وَآتِ ذَا الْقُرْبَى حَقَّهُ

Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya
Dijarkan dengan Ya’ pengganti dari Kasrah. Contoh:

ارْجِعُوا إِلَى أَبِيكُمْ

Kembalilah kepada ayahmu

Alfiyah Bait 25-26 4 Tanda Asal I’rab: Dhammah, Fathah, Kasrah dan Sukun »

فَارْفَعْ بِضَمَ وَانْصِبَنْ فَتْحَاً وَجُرْ ¤ كَسْــــــرَاً كَــذِكْرُ اللَّهِ عَبْــدَهُ يَسُـرْ

Rofa’kanlah olehmu dengan tanda Dhommah, Nashabkanlah! Dengan tanda Fathah, Jarrkanlah! Dengan tanda Kasrah. Seperti lafadz Dzikrullahi ‘Abdahu Yasur.

وَاجْزِمْ بِتَسْكِيْنٍ وَغَيْرُ مَا ذُكِرْ ¤ يَنُــوْبُ نَحْوُ جَا أَخْــو بَنِي نَمِــرْ

Dan Jazmkanlah! Dengan tanda Sukun. Selain tanda-tanda yang telah disebut, merupakan penggantinya. Seperti lafadz: Jaa Akhu Bani Namir

Bait ini menerangkan bahwa asal-asal I’rab ditandai dengan Harkah dan Sukun. Maka asal tanda Rafa’ adalah Dhammah (َ), tanda asal Nashab adalah Fathah (َ), tanda asal Jar adalah Kasrah (ِ) dan tanda asal Jazm adalah Sukun (ْ). Dengan demikian apabila ada kalimah yang tidak kebagian tanda i’rob asal (Harkah atau Sukun), maka bagiannya adalah tanda i’rab Pengganti Asal (Bisa juga Harkah, Huruf atau membuang Huruf).
Contoh Tanda I’rab asal, sebagaimana tertulis pada Bait di atas:

ذِكْرُ اللهِ عَبْدَهُ يَسُرّ

Lafadz ذِكْرُ Rofa’ dengan Dhommah, lafazh اللهِ Jar dengan Kasroh dan lafazh عَبْدَ Nashob dengan Fathah.
Tanda I’rab pengganti adalah sbb:
  • Menggantikan Dhammah tanda asal Rafa’ yaitu: Wau, Alif dan Nun (و, ا, ن)
  • Menggantikan Fathah tanda asal Nashab yaitu: Alif, Ya’, Kasrah, dan membuang Nun (ا, ي, ِ, حذف النون)
  • Menggantikan Kasrah tanda asal Jar yaitu: Ya’ dan Fathah (ي, َ)
  • Menggantikan Sukun tanda asal Jazm yaitu: membuang huruf.
Dengan demikian I’rob Rofa’ mempunyai empat tanda, I’rob Nashob mempunyai lima tanda, I’rob Jar mempunyai tiga tanda dan I’rob Jazm mempunyai dua tanda. Jadi keseluruhan tanda i’rob adalah 14 tanda, 4 tanda asal dan 10 tanda pengganti asal.
Contoh Tanda I’rab pengganti, sebagaimana tertulis pada Bait di atas:

جَا أَخُو بَنِى نَمِرْ

Lafazh أَخُو Rofa’ dengan Wau pengganti Dhommah dan Lafazh بَنِى Jar dengan Ya’ pengganti Kasroh.

Alfiyah Bait 23-24 Macam-macam I’rab/I’rob dalam Tata Bahasa Arab »

وَالْرَّفْعَ وَالْنَّصْبَ اجْعَلَنْ إعْرَابَا ¤ لاسْــمٍ وَفِــعْــلٍ نَحْـوُ لَنْ أَهَـــــابَا

Jadikanlah Rofa’ dan Nashab sebagai I’rab (sama bisa) untuk Isim dan Fi’il, seperti lafadz Lan Ahaba.

وَالاسْمُ قَدْ خُصِّصَ بِالْجَرِّ كَمَا ¤ قَــدْ خُصِّصَ الْفِعْـلُ بِأَنْ يَنْـجَزِمَا

Kalimah Isim dikhususi dengan I’rab Jarr, sebagaimana juga Fi’il dikhususi dengan dii’rab Jazm.
Pengertian I’rab / I’rob (الإعراب) dalam Ilmu Nahwu adalah: Bekas secara Zhahiran atau Taqdiran yang terdapat pada akhir Kalimah disebabkan oleh pengamalan Amil. Contoh:

جَاءَ زَيْدٌ – رَأَيْتُ زَيْدًا – مَرَرْتُ بِزَيْدٍ

جَاءَ الْفَتَى – رَأَيْتُ الْفَتَى – مَرَرْتُ بِالْفَتَى

I’rob Zhahir/terang : adalah bekas akhir kalimah, tidak ada penghalang yang mencegah dalam mengucapkannya. Contoh: زَيْدٌ – زَيْدًا – زَيْدٍ pada contoh susunan kalimat diatas.
I’rab Taqdir/kira-kira : Adalah bekas akhir kalimah, terdapat penghalang yang mencegah dalam melafalkannya. Baik penghalang tersebut karena Udzur semisal جَاءَ الْفَتَى, atau karena berat semisal جَاءَ الْقَاضِيْ, atau karena demi kesesuaian semisal جَاءَ اَبِيْ.
Macam-macam I’rab ada empat:
  1. Raf’a / Rofa’ (الرفع) masuk kepada Kalimah Isim dan Kalimah Fi’il (الاسم و الفعل)
  2. Nashb / Nashob (النصب) masuk kepada Kalimah Isim dan Kalimah Fi’il (الاسم و الفعل)
  3. Jarr / jar (الجر) masuk kepada Kalimah Isim (الاسم)
  4. Jazm / Jazem (الجزم) masuk kepada Kalimah Fi’il (الفعل)

Alfiyah Bait ke 21-22 » Bentuk Mabni

وَكُلُّ حَـرْفٍ مُسْتَــحِقٌّ لِلْبِنَا ¤ وَالأَصْلُ فِي الْمَبْنِيِّ أَنْ يُسَكَّنَا

Semua Kalimah Huruf menghaki terhadap Mabni. Asal didalam Kemabnian adalah dihukumi Sukun.

وَمِنْهُ ذُو فَتْحٍ وَذُو كَسْرٍ وَضَمُّ ¤ كَأَيْنَ أَمْسِ حَيْثُ وَالْسَّــــاكِنُ كَمْ

Diantara bentuk Mabni adalah Mabni Fathah, Mabni Kasroh dan Mabni Dhommah. Seperti lafadz: Aina, Amsi, Haitsu, dan Mabni Sukun seperti Lafadz Kam.
Semua Kalimah Harf/Huruf (الحرف) adalah Mabni. Dalam hal ini, kemabnian kalimah huruf tidak membutuhkan terhadap pelaksanaan I’rob untuk memahami makna-makna yang terkandung daripadanya pada suatu susunan kalimat, tidak sebagaimana Kalimah Isim. Contoh:

أَخَذْتُ مِنَ الدَّرَاهِمِ

Aku telah mengambil sebagian dari Dirham-dirham itu.
Pengertian makna “sebagian” (التبعيض) dari Kalimah Huruf “Min” (من) pada contoh diatas, terfaidah tanpa membutuhkan pelaksanaan I’rob.

سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلاً مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى

Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha.
Pengertian makna “batas permulaan” (ابتداء الغاية) pada Kalimah Huruf “Min” (من) dan pengertian makna “batas akhiran” pada Kalimah Huruf “Ila” (إلى) dalam contoh ayat diatas, terlaksana tanpa membutuhkan terhadap I’rob.
Bentuk Mabni adalah tetapnya akhir kalimah pada satu bentuk keadaan. Bentuk Mabni ada empat macam:
1. Mabni Sukun.
Mabni sukun adalah bentuk asal Mabni. Karena merupakan paling ringannya syakal. Oleh karena itu ia bisa masuk pada Kalimah Isim, Kalimah Fi’il dan Kalimah Harf/huruf. contoh: اُكْتُبْ – كَمْ – مِنْ

سَلْ بَنِي إِسْرَائِيلَ كَمْ آتَيْنَاهُمْ مِنْ آيَةٍ بَيِّنَةٍ

Tanyakanlah kepada Bani Israil: “Berapa banyaknya tanda-tanda (kebenaran) yang nyata, yang telah Kami berikan kepada mereka.”
Kalimah Mabni ini tidak akan berharakah kecuali untuk mengantisipasi bertemunya dua huruf mati. Contoh:
Diberi harakah kasroh

قَالَتِ امْرَأَتُ الْعَزِيزِ

Berkata isteri Al Aziz
Diberi harakah dhommah

هُمُ الَّذِينَ يَقُولُونَ

Mereka orang-orang yang mengatakan…
Diberi harakah fathah

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ آمَنَّا بِاللَّهِ وَبِالْيَوْمِ الْآخِرِ

Di antara manusia ada yang mengatakan: “Kami beriman kepada Allah dan Hari kemudian
2. Mabni fathah
Harkat fathah merupakan paling dekatnya harkat terhadap Sukun, oleh karena itu ia juga masuk kepada kalimah Isim, Fi’il dan Huruf. contoh: كَيْفَ – قَامَ – وَ

الْآنَ خَفَّفَ اللَّهُ عَنْكُمْ وَعَلِمَ أَنَّ فِيكُمْ ضَعْفًا

Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan dia telah mengetahui bahwa padamu ada kelemahan.
3. Mabni Kasrah
Masuk kepada kalimah Isim dan kalimah Huruf, tidak masuk kepada kalimah Fi’il contoh:

هَا أَنْتُمْ أُولاَءِ تُحِبُّونَهُمْ وَلاَ يُحِبُّونَكُمْ وَتُؤْمِنُونَ بِالْكِتَابِ كُلِّهِ

Beginilah kamu, kamu menyukai mereka, padahal mereka tidak menyukai kamu, dan kamu beriman kepada kitab-kitab semuanya.
4. Mabni Dhommah
Juga masuk kepada Kalimah Isim dan Kalimah Huruf, tidak masuk kepada Kalimah Fi’il. Seperti حَيْثُ (Kalimah Isim) dan مُنْذُ (Huruf Jarr). Sedangkan Harakah Dhommah pada akhir Kalimah Fi’il Madhi pada contoh اَلطُّلاَّبُ حَضَرُوا Bukanlah Harakah asli, namun ia adalah Harakah pengganti untuk memantaskan pada huruf Wau.
Mabni membuang Huruf Illah termasuk pada mabni sukun, karena ia pengganti dari mabni sukun.

Alfiyah Bait 19-20 Fi’il Mu’rab dan Fi’il Mabni » Alfiyah Bait 19-20

وَفِـــعْلُ أَمْـرٍ وَمُضِيٍّ بُنِـيَا ¤ وَأَعْرَبُوا مُضَارِعَاً إنْ عَرِيَا

Fi’il Amar dan Fi’il Madhi, keduanya dihukumi Mabni. Dan mereka Ulama Nahwu sama menghukumi Mu’rab terhadap Fi’il Mudhari’ jika sepi…

مِنْ نُوْنِ تَوْكِيْدٍ مُبَاشِرٍ وَمِنْ ¤ نُوْنِ إنَــاثٍ كَيَرُعْنَ مَنْ فُـــتِنْ

…Dari Nun Taukid yang mubasyaroh (bertemu langsung) dan Nun Jamak Mu’annats, seperti lafadz: Yaru’na Man Futin.
Bait 19-20
Syarah Ibnu Aqil - Alfiyah Bait 19-20
Setelah sebelumnya menerangkan Mu’rob dan Mabni untuk Kalimah Isim, selanjutnya pada dua Bait diatas Mushannif menerangkan Mu’rob dan Mabni untuk Kalimah Fi’il.
Menurut Qaul Madzhab Bashrah, bahwa asal-asal Kalimah Isim adalah Mu’rob sedangkan asal Kalimah Fi’il adalah Mabni. Adapun menurut Qaul Madzhab Kufah, bahwa hukum Mu’rob adalah asal bagi Kalimah Isim pun juga Kalimah Fi’il. Qaul yang pertama adalah Qaul yang lebih shahih. Sedangkan nukilan Dhiyauddin Bin ‘Ilj dalam kitabnya Al-Basith mengatakan: diantara sebagian Ahli Nahwu berpendapat bahwa Mu’rob merupakan asal untuk Kalimah Fi’il, dan cabang untuk Kalimah Isim.

FI’IL MADHI

Mufakat dalam hal kemabniannya
Mabni Fathah apabila tidak bersambung dengan wau jama’ dan dhomir rofa’ mutaharrik, contoh:
Mabni Fathah Dzahiran:

جَاءَ الْحَقُّ وَزَهَقَ الْبَاطِلُ

Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap.
Mabni Fathah Taqdiran:

سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ

Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya.
Mabni Dhommah jika bersambung dengan Wau Jama’ contoh:

قَالُوا سُبْحَانَكَ

Mereka menjawab: “Maha Suci Engkau”
Mabni Sukun jika bersambung dengan Dhomir Rofa’ Mutaharrik (yaitu: Ta’ Fa’il, Naa Fa’il, Nun Mu’annats.) contoh:

فَإِذَا خِفْتِ عَلَيْهِ فَأَلْقِيهِ فِي الْيَمِّ

apabila kamu khawatir terhadapnya maka jatuhkanlah dia ke sungai (Nil).

إِنَّا هُدْنَا إِلَيْكَ

sesungguhnya kami kembali (bertaubat) kepada Engkau

وَأَخَذْنَ مِنْكُمْ مِيثَاقًا غَلِيظًا

Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.

FI’IL AMAR

Ikhtilaf dalam hal kemabniannya, Mabni menurut Ahli Nahwu Bashrah dan Mu’rob menurut Ahli Nahwu Kufah. dan yang lebih Rajih adalah hukum Mabni atas Jazmnya Fi’il Mudhari’.
Mabni Sukun apabila Shahih Akhir dan atau bersambung dengan Nun Jamak Mu’annats. contoh:

قُمْ فَأَنْذِرْ

bangunlah, lalu berilah peringatan!…!

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى وَأَقِمْنَ الصَّلَاةَ

dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat…!
Mabni atas membuang Nun, apabila bersambung dengan Alif Tatsniyah atau Wau Jama’ atau Ya’ Muannats Mukhathabah. contoh:

اذْهَبَا إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى

Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas…!

حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلَاةِ الْوُسْطَى وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ

Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu’…!

يَا مَرْيَمُ اقْنُتِي لِرَبِّكِ وَاسْجُدِي وَارْكَعِي مَعَ الرَّاكِعِينَ

Hai Maryam, taatlah kepada Tuhanmu, sujud dan ruku’lah bersama orang-orang yang ruku’…!
Mabni Membuang Huruf Illat apabila Kalimah Fi’il Amar tsb Mu’tal Akhir. contoh:

ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ

Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik …!

وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ

dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar …!

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ اتَّقِ اللَّهَ

Hai Nabi, bertakwalah kepada Allah …!
Mabni Fathah apabila bersambung dengan Nun Taukid. contoh:

اتركَنَّ الجدال

Sungguh tinggalkanlah! berbantah-bantahan …!

FI’IL MUDHARI’

Hukum Mu’rob untuk Kalimah Fi’il yaitu Fi’il Mudhari’, dengan syarat tidak bersambung dengan Nun Jamak Mu’annats atau Nun Taukid yang Mubasharoh (bersambung langsung).
Contoh:

اللَّهُ يَبْدَأُ الْخَلْقَ ثُمَّ يُعِيدُهُ ثُمَّ إِلَيْهِ تُرْجَعُونَ

Allah menciptakan (manusia) dari permulaan, kemudian mengembalikan (menghidupkan)nya kembali; kemudian kepadaNyalah kamu dikembalikan >
Apabila bersambung dengan Nun Taukid yang Mubasyaroh (bersambung langsung), baik Nun Taukid tsb Khafifah (ringan, tanpa tasydid) atau Tsaqilah (berat, memakai tasydid) maka Fi’il Mudhari’ tsb dihukumi Mabni Fathah.
Contoh:

كَلَّا لَيُنْبَذَنَّ فِي الْحُطَمَةِ

sekali-kali tidak! Sesungguhnya dia benar-benar akan dilemparkan ke dalam Huthamah
Apabila bersambung dengan Nun Jamak Muannats, maka Fi’il Mudhari’ tsb dihukumi Mabni Sukun.
Contoh:

وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ

Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’
Apabila Fi’il Mudhori’ tidak bersambung secara langsung dengan Nun Taukid, seperti Fiil Mudhori’ yg bersambung dengan Alif Tatsniyah, artinya diantara Fi’il Mudhari’ dan Nun Taukid ada pemisah yaitu Alif Tatsniyah. Maka tetap dihukumi Mu’rob. tanda I’robnya sebagaimana FI’il Mudhori’ sebelum dimasuki Nun Taukid.
Contoh:

هَلْ تَذْهَبَانَّ

Apakah kamu berdua benar-benar akan pergi ?
Pada contoh ini lafadz تَذْهَبَانَّ asal lafadznya adalah تَذْهَبَانَنَّ berkumpul tiga nun, maka dibuang Nun yang pertama yaitu Nun Rofa’, alasannya berat karena tiga huruf yg sama beriringan.

وَلَا تَتَّبِعَانِّ سَبِيلَ الَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ

dan janganlah sekali-kali kamu berdua mengikuti jalan orang-orang yang tidak mengetahui
Demikian juga Mu’rob, yaitu Fi’il Mudhori’ yang bersambung dengan Wau Jama’ atau Ya’ Mukhathabah karena ada pemisah antara Fi’il Mudhori’ dan Nun Taukid. contoh:

وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ

Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?” Tentu mereka akan menjawab: “Allah.”

فَإِمَّا تَرَيِنَّ مِنَ الْبَشَرِ أَحَدًا

Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: Jika kamu melihat seorang manusia…
Demikianlah apa yang dimaksud dari perkataan Mushannif dalam Nadzom “…dan mereka Ulama Nahwu sama menghukumi Mu’rob terhadap Fi’il Mudhari’ apabila sepi dari Nun Taukid yang Mubasharah dan Nun Jamak Muannats…”.
Walhasil, dari apa yang tersirat dari Bait Syair Mushannif, bahwa apabila Fi’il Mudhori tidak sepi dari Nun Taukid yang Mubasharah dan Nun Jamak Muannats, maka hukumnya Mabni. Ini merupakan pendapat Madzhab Jumhur Ulama Nahwu.
Menurut Madzhab Imam Akhfasy, bahwa Fi’il Mudhori’ yg bersambung dengan Nun Taukid baik Mubasyaroh atau tidak, tetap dihukumi Mabni. dan sebagian Ulama menukil, bahwa Fi’il Mudhari’ tetap Mu’rab sekalipun bersambung dengan Nun Taukid yg Mubasharah.
Adapun Fi’il Mudhori’ yang tersambung dengan Nun Jamak Mu’annats, hukumnya Mabni tanpa khilaf, ini menurut tukilan Kiyai Mushannif pada sebagian Kitab-Kitabnya. Akan tetapi tidaklah demikian, bahkan Khilaf tetap ada dalam hal ini. sebagaimana pendapat Ulama yang ditukil oleh Ustadz Abul Hasan bin ‘Ashfur dalam Kitabnya Syarah Al-Idhah.

Alfiyah Bait 18 Definisi Isim Mu’rob

وَمُعْرَبُ الأَسْمَاءِ مَا قَدْ سَلِمَا ¤ مِنْ شَبَهِ الْحَرْفِ كَأَرْضٍ وَسُمَا

Adapun Mu’robnya Kalimah-kalimah Isim, adalah Isim yang benar-benar selamat dari serupa Kalimah Huruf seperi contoh: “Ardhin” dan “Sumaa”.
Kitab Syarah Ibnu Aqil
Bait ini menerangkan bahwa Isim Mu’rob berlawanan dengan Isim Mabni, artinya: dikatakan Isim Mu’rob karena tidak ada keserupaan dengan Kalimah Huruf, baik Isim Mu’rob itu Shahih akhir tidak ada huruf illat seperti أَرْض, (Ardhin : Bumi) atau Mu’tal yang diakhiri dengan huruf illat seperti سُمَا (Sumaa : Nama, salah satu bahasa dari kata ٌاسْم), juga Isim Mu’rob itu ada yang “Mutamakkin Amkan” pantas tanwin dan mungkin (Isim Munshorif) seperti ُزَيْد , عَمْرٌو dan ada yang “Mutamakkin Ghair Amkan” pantas tanwin tapi tidak mungkin (Isim tidak Munshorif) seperti ُأَحْمَدُ , مَسَاجِدُ, مَصَابِيْح . Sedangkan Isim Mabni disebut “Ghairu Mutamakkin” sama sekali tidak pantas tanwin.

Alfiyah Bait 16-17 Faktor Mabninya Kalimat Isim: Wadh’i, Ma’nawi, Niyabah, Iftiqoriy.

كَالْشَّبَهِ الْوَضْعِيِّ فِي اسْمَيْ جِئْتَنَا ¤ وَالْمَعْـنَـــوِيِّ فِي مَتَى وَفِي هُـــــــنَا

Seperti keserupaan bangsa “Wadh’i” di dalam dua isimnya lafadz جئتنا. Dan keserupaan bangsa “Ma’nawi” dalam contoh متى dan هنا.

وَكَنِيَابَةٍ عَنِ الْفِعْلِ بِلاَ ¤ تَأَثُّــــرٍ وَكَافْــتِقَارٍ أُصِّلا

Dan keserupaan bangsa “Niyabah” pengganti dari Fi’il tanpa pembekasan I’rob (Isim Fi’il). Dan keserupaan bangsa “Iftiqoriy” kebutuhan yang dimustikan (membutuhkan shilah) .
Kitab Alfiyah Bab Mu'rob dan Mabni
Disebutkan pada dua bait di atas tentang macam-macam keserupaan kalimat isim terhadap kalimat huruf yang menjadi faktor kemabnian Kalimat Isim tersebut. Segi keserupaan ini terdapat pada empat faktor:
Keserupaan pada Kalimat Huruf bangsa Wadh’i/ kondisi bentuknya:
Yaitu isim yang bentuknya serupa dengan bentuk kalimat huruf, hanya terdiri dari satu huruf misal TA’ pada lafadz ضربت. Atau hanya terdiri dari dua huruf misal NA pada lafadz أكرمنا. Sebagaimana contoh dalam Bait:

جئتنا

Engkau datang kepada kami.
TA’nya adalah Isim Fa’il dan NAnya adalah Isim Maf’ul dari Kata Kerja جَاءَ
Keserupaan pada Kalimat Huruf bangsa Ma’nawi/maknanya:
Dalam hal ini ada dua term:
(1). Keserupaan bangsa makna yang ada padanannya, misal متى serupa maknanya dengan Kalimat Huruf Istifham (kata tanya). Atau serupa maknanya dengan Kalimat Huruf Syarat.
→ Contoh Isim Istifham:

مَتَى تَقُومُ ؟

Kapan kamu mau berdiri?

مَتى السّفرُ ؟

Kapan bepergian?

مَتَى نَصْرُ الله أَلاَ إِنَّ نَصْرَ الله قَرِيبٌ

“Bilakah datangnya pertolongan Allah?” Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.
→ Contoh Isim Syarat:

مَتَى تَقُمْ أَقُمْ

Bilamana kamu berdiri, niscaya aku ikut berdiri.

فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ

Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.
(2). Keserupaan bangsa Ma’nawi yang dikira-kira, karena tidak ada padanannya. Misal هنا artinya: disini (kata tunjuk sesuatu/Isim Isyarah) serupa maknanya dengan Kalimat Huruf secara dikira-kira karena tidak ada contoh kalimat huruf padanannya. Namun demikian, Isim isyarah ini menunjukkan makna dari suatu makna, diserupakan dengan Kalimat Huruf yang juga menunjukkan karakter demikian, seperti Kalimat Huruf  ما Nafi untuk meniadakan sesuatu, لا Nahi untuk mencegah sesuatu, ليت Tamanni untuk mehayalkan sesuatu, dan لعل Taroji untuk mengharap sesuatu, dan lain-lain. Contoh:

أَتُتْرَكُونَ فِي مَا هَاهُنَا آمِنِينَ

Adakah kamu akan dibiarkan tinggal disini (di negeri kamu ini) dengan aman
Keserupaan pada Kalimat Huruf bangsa Niyabah/pengganti Fi’il
Yaitu semua jenis “Isim Fi’il” atau Kalimah Isim yang beramal seperti amal Kalimah Fi’il beserta bebas dari bekas ‘Amil, yang demikian adalah seperti Kalimat Huruf. Contoh:

هَيْهَاتَ هَيْهَاتَ لِمَا تُوعَدُونَ

jauh, jauh sekali (dari kebenaran) apa yang diancamkan kepada kamu itu

دَرَاكِ زَيْدًا

Temukan Zaid!
Lafazh دراك “Darooki” pada contoh ini adalah Isim Mabni (Mabni Kasroh) karena serupa dengan Kalimah Huruf pada faktor Niyabah. disebutkan dalam Bait: بلا تأثر “yang tanpa dibekasi amil” atau mengamal I’rob tanpa bisa diamali I’rob. Adalah untuk membedakan dengan Isim yang beramal seperti Kalimat Fi’il tapi ada bekas Amil. Contoh:

وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا

dan berbuat kebaikanlah kepada ibu bapa!

ضَرْبًا زَيْدًا

Pukullah Zaid!
Lafadz ضربا “Dhorban” adalah Isim masdar yang dinashobkan oleh ‘Amil yaitu Kalimat Fi’il yang dibuang, menggantikan tugas Kalimat Fi’il اضرب “Idhrib!” pukullah!. Berbeda dengan lafadz دراك “Darooki” sekalipun dikatakan pengganti tugas Kalimat Fi’il أدرك “Adrik!” temukan! Tapi ia mandiri tanpa ada pembekasan ‘Amil.
Walhasil dari apa yang tersirat dari Bait Syair Mushannif: bahwa Masdar dan Isim Fi’il bersekutu dalam hal sama-sama menggantikan tugas Kalimat Fi’il. Perbedaannya adalah: Masdar ada bekas ‘Amil, dihukumi Mu’rob karena tidak serupa dengan Kalimat Huruf. sedangkan “Isim Fi’il” tidak ada bekas ‘Amil, dihukumi Mabni karena serupa dengan Kalimah Huruf.
Mengenai kemabnian dan masalah khilafiyah yang ada pada Kalimat Isim Fiil ini, akan diterangkan nanti pada Bait-Bait Syair Mushannif secara khusus yaitu pada Bab Isim Fi’il dan Isim Ashwat. Insya Allah.
Keserupaan pada Kalimah Huruf bangsa Iftiqoriy/kebutuhan yang musti.
Maksudnya adalah Isim Maushul seperti الذي dan saudara-saudaranya, musti butuh terhadap jumlah sebagai shilahnya. Sama seperti Kalimah Huruf yang musti butuh kepada kalimat lain. Oleh karena itu Isim Maushul dihukumi Mabni. Disebutkan dalam Bait وكافتقار أصلا “Kebutuhan yang dimustikan” untuk membedakan dengan Kalimah Isim yang Iftiqorinya/karakter kebutuhannya tidak musti. Seperti “Isim Nakirah” yang disifati, butuh terhadap jumlah sebagai sifatnya, namun  kebutuhannya itu tidak sampai pada kategori lazim atau musti. Contoh:

هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي اْلاَرْضِ جَمِيعًا

Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu
Kesimpulan dari dua Bait di atas, bahwa Isim Mabni ada enam bab: ISIM DHOMIR, ISIM SYARAT, ISIM ISTIFHAM, ISIM ISYARAH, ISIM FI’IL dan ISIM MAUSHUL.